Rabu, 17 Desember 2025

Tugas Terstruktur 10

 Analisis Kasus Implementasi Produksi Berkelanjutan


A. Profil Perusahaan dan Latar Belakang

  • Nama Perusahaan: PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG)
  • Sektor Industri: Manufaktur (Semen dan bahan bangunan)

PT Semen Indonesia (Persero) Tbk merupakan produsen semen terbesar di Indonesia dengan kegiatan utama meliputi produksi semen, beton siap pakai, dan solusi bahan bangunan. Industri semen tergolong sebagai industri padat energi dan berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon global. Oleh karena itu, SIG mengadopsi strategi Produksi Berkelanjutan sebagai bagian dari transformasi bisnis jangka panjang.

Motivasi utama SIG dalam menerapkan Produksi Berkelanjutan meliputi kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, pengendalian biaya operasional, peningkatan efisiensi sumber daya, serta penguatan daya saing dan citra perusahaan. SIG secara resmi mengintegrasikan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

B. Strategi Keberlanjutan yang Digunakan

  1. Integrasi ESG dan Life Cycle Thinking SIG: 
    menerapkan prinsip ESG di seluruh rantai nilai, mulai dari pengadaan bahan baku hingga distribusi produk. Pendekatan life cycle thinking digunakan untuk mengurangi dampak lingkungan sepanjang siklus hidup produk semen, khususnya pada tahap produksi yang paling intensif energi.
  2. Ekonomi Sirkular melalui Co-Processing dan Produk Rendah Karbon:
    SIG mengadopsi ekonomi sirkular melalui pemanfaatan limbah industri dan domestik sebagai bahan bakar dan bahan baku alternatif (co-processing). Strategi ini bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil serta menurunkan volume limbah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Selain itu, SIG mengembangkan produk semen rendah karbon sebagai bagian dari inovasi berkelanjutan.

Kedua strategi tersebut sejalan dengan konsep Sustainable Consumption and Production (SCP) karena mendorong efisiensi sumber daya dan konsumsi yang lebih bertanggung jawab.

C. Indikator Keberlanjutan (Triple Bottom Line)

  1. Indikator Lingkungan (Planet)SIG memiliki Sustainability Roadmap 2030 yang mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca, peningkatan efisiensi energi, serta optimalisasi penggunaan bahan bakar alternatif. Melalui metode co-processing, SIG secara bertahap meningkatkan tingkat substitusi energi termal (Thermal Substitution Rate), sehingga mampu menekan penggunaan bahan bakar fosil.Selain itu, SIG menargetkan peningkatan proporsi produk ramah lingkungan, dengan sasaran produk hijau mencapai sekitar 62% dari total portofolio produk pada tahun 2030. Perusahaan juga menetapkan komitmen jangka panjang untuk mendukung target net zero emission pada tahun 2050.
  2. Indikator Ekonomi (Profit)
    Implementasi Produksi Berkelanjutan memberikan dampak ekonomi melalui efisiensi energi dan pengurangan biaya bahan bakar konvensional. Pemanfaatan bahan bakar alternatif dan optimalisasi proses produksi berkontribusi terhadap pengendalian biaya operasional.
    Dari sisi kinerja pasar, inovasi produk ramah lingkungan menciptakan nilai tambah dan peluang pendapatan baru. Kinerja keberlanjutan SIG juga tercermin dari perolehan berbagai penghargaan dan peringkat ESG tingkat regional, yang meningkatkan kepercayaan investor dan memperkuat keberlanjutan finansial perusahaan.
  3. Indikator Sosial (People)
    Pada aspek sosial, SIG menerapkan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) serta menjalankan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Program sosial perusahaan mencakup pemberdayaan masyarakat sekitar pabrik, pengembangan ekonomi lokal, serta pelatihan bagi karyawan dan masyarakat.
    SIG juga melaksanakan program berbasis komunitas, seperti pengembangan energi terbarukan melalui budidaya tanaman energi, yang memberikan manfaat ekonomi bagi kelompok masyarakat sekaligus mendukung transisi energi berkelanjutan.

D. Dampak dan Evaluasi Hasil

  • Dampak Positif:
    Implementasi Produksi Berkelanjutan di SIG memberikan dampak positif terhadap penurunan penggunaan bahan bakar fosil, pengurangan limbah, serta peningkatan efisiensi energi. Dari sisi ekonomi, strategi ini memperkuat daya saing dan ketahanan bisnis melalui efisiensi biaya dan diversifikasi produk. Secara sosial, program pemberdayaan masyarakat dan peningkatan K3 memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan pemangku kepentingan.
  • Tantangan:
    Tantangan utama yang dihadapi SIG adalah kebutuhan investasi teknologi rendah karbon yang besar serta kompleksitas penurunan emisi di industri semen yang secara inheren intensif energi.
  • Evaluasi Kritis:
    Secara keseluruhan, strategi Produksi Berkelanjutan SIG dapat dinilai efektif karena mampu mengintegrasikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial secara seimbang. Namun, untuk mencapai keberlanjutan yang sejati, SIG perlu mempercepat adopsi teknologi rendah karbon dan memperkuat kolaborasi dengan pemerintah serta industri pendukung agar target penurunan emisi dapat tercapai secara optimal.

Tugas Mandiri 10

Produksi Berkelanjutan dalam Perspektif Ekonomi Sirkular
(Wasteland)


A. Identitas Video dan Ringkasan

Dokumenter Wasteland mengisahkan proyek seni yang dilakukan oleh seniman Brasil, Vik Muniz, bersama para pemulung (catadores) di Tempat Pembuangan Akhir Jardim Gramacho, Rio de Janeiro, yang pada saat itu merupakan salah satu TPA terbesar di dunia. Melalui pendekatan seni dan kolaborasi sosial, dokumenter ini menyoroti permasalahan limbah, ketimpangan sosial, serta potensi ekonomi yang tersembunyi di balik sampah. Pesan utama yang disampaikan adalah bahwa limbah bukan sekadar sisa konsumsi, melainkan sumber daya yang dapat dimanfaatkan kembali melalui pendekatan ekonomi sirkular. Dokumenter ini juga menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak hanya berkaitan dengan lingkungan, tetapi juga berdampak langsung pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat.

B. Analisis Ide Kunci dan Daftar Ide Terapkan

Dokumenter Wasteland menampilkan berbagai gagasan penting terkait produksi berkelanjutan, pengelolaan limbah, serta pemberdayaan sosial. Ide-ide yang disampaikan bersifat aplikatif dan relevan untuk diterapkan di sektor industri modern, khususnya dalam konteks ekonomi sirkular dan tanggung jawab sosial perusahaan.

No

Ide Kunci

Penjelasan Singkat

Sektor Industri Target

Rencana Penerapan Praktis

1

Limbah sebagai sumber daya

Sampah memiliki nilai ekonomi jika dikelola dan diproses dengan tepat

Manufaktur, daur ulang, kemasan

Pemilahan limbah produksi dan penggunaan kembali material bernilai

2

Ekonomi sirkular

Produk dan material dirancang agar dapat digunakan kembali atau didaur ulang

Industri plastik, tekstil, elektronik

Desain produk recyclable dan sistem pengambilan kembali produk

3

Pemberdayaan sosial dalam keberlanjutan

Keberlanjutan harus mencakup peningkatan kesejahteraan masyarakat

Industri berbasis komunitas

Kemitraan dengan pemulung atau UMKM daur ulang

4

Kolaborasi lintas sektor

Masalah lingkungan tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja

Semua sektor industri

Kolaborasi antara industri, pemerintah, dan komunitas

5

Perubahan persepsi terhadap limbah

Limbah bukan masalah, tetapi peluang inovasi

Industri kreatif, manufaktur

Inovasi produk berbasis limbah dan kampanye kesadaran lingkungan

C. Kesimpulan dan Refleksi

Dokumenter Wasteland memberikan gambaran kuat mengenai urgensi produksi berkelanjutan dan pengelolaan limbah yang bertanggung jawab. Limbah yang dihasilkan oleh aktivitas industri dan konsumsi masyarakat tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mencerminkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Dari sudut pandang pribadi, dokumenter ini mengubah cara pandang terhadap sampah, dari sesuatu yang tidak bernilai menjadi sumber daya yang memiliki potensi ekonomi dan sosial. Konsep keberlanjutan yang ditampilkan dalam Wasteland memperkuat pemahaman bahwa produksi berkelanjutan harus mengintegrasikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial secara seimbang. Dengan menerapkan prinsip ekonomi sirkular dan kolaborasi lintas sektor, industri dapat berkontribusi pada pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan di masa depan.


Link Word : 

Rabu, 10 Desember 2025

Tugas Terstruktur 09

 ANALISIS DESAIN PRODUK DENGAN PRINSIP DFE


Analisis Produk: Sedotan Stainless Steel 

Kelompok kami memilih produk berupa sedotan stainless steel karena produk ini sederhana, mudah ditemukan, dan sering digunakan sebagai alternatif ramah lingkungan untuk menggantikan sedotan plastik sekali pakai. Produk ini juga menarik untuk dianalisis karena meskipun dianggap “eco-friendly”, masih terdapat aspek desain yang dapat diperbaiki agar dampak lingkungannya semakin kecil.

Analisis Desain Awal

Sedotan stainless steel memiliki fungsi utama sebagai alat bantu untuk minum yang dapat digunakan berkali-kali. Material utamanya adalah stainless steel, biasanya tipe 304 atau 316, yang terkenal kuat, tahan korosi, dan relatif aman digunakan. Beberapa paket penjualan biasanya disertai pouch dari kain maupun polyester dan sikat pembersih yang terdiri dari kawat baja tipis dan bulu nylon. Dari segi desain, sedotan ini umumnya berbentuk lurus atau melengkung dengan permukaan halus dan warna metalik alami atau warna hasil coating seperti hitam, emas, atau pelangi. Ukurannya cukup standar yaitu sekitar 20–22 cm dengan diameter berkisar antara 6–8 mm.

Identifikasi Masalah Lingkungan Berdasarkan Prinsip DfE

Meskipun sedotan stainless sering dipromosikan sebagai pilihan ramah lingkungan, proses produksinya tetap memiliki dampak. Stainless steel memang dapat didaur ulang sepenuhnya, tetapi proses ekstraksi bahan bakunya, yaitu bijih besi, nikel, dan krom, membutuhkan energi yang besar dan menghasilkan emisi yang signifikan. Material tambahan seperti bulu nylon pada sikat pembersih sulit didaur ulang dan cenderung menjadi limbah kecil yang berpotensi mencemari lingkungan. Coating berwarna pada sedotan juga berpotensi menghasilkan limbah kimia dari proses elektroplating.

Dari sisi produksi, pembuatan sedotan stainless melibatkan proses pemotongan, pembentukan, dan polishing yang semuanya membutuhkan energi listrik. Pada fase penggunaan, sedotan ini sebenarnya sangat unggul karena dapat dipakai bertahun-tahun. Namun, apabila tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik, permukaannya dapat berkarat atau menjadi tempat berkembangnya bakteri. Sikat nylon yang digunakan untuk membersihkan sedotan juga cepat aus dan harus diganti secara berkala.

Di akhir siklus hidupnya, sedotan stainless sangat mudah didaur ulang apabila dikumpulkan sebagai scrap metal. Tantangannya adalah banyak pengguna tidak mengetahui hal tersebut sehingga sedotan yang rusak sering berakhir sebagai sampah rumah tangga. Aksesori seperti pouch polyester atau bulu nylon pada sikat pembersih tidak dapat terurai secara alami dan tidak mudah didaur ulang.

Rekomendasi Perbaikan Desain Berdasarkan Prinsip DfE

  • Perbaikan pertama yang dapat dilakukan adalah mengganti material bulu sikat pembersih dari nylon ke bahan alami seperti bambu, sisal, atau sabut kelapa. Bahan-bahan tersebut bersifat biodegradable sehingga tidak menambah limbah plastik kecil yang sulit diproses. Selain itu, bahan alami menurunkan ketergantungan pada material berbasis minyak bumi.
  • Perbaikan kedua adalah mendorong penggunaan stainless steel daur ulang dalam proses produksinya. Dengan memanfaatkan scrap stainless steel, produsen dapat menurunkan konsumsi energi secara signifikan dan mengurangi emisi karbon yang muncul dari ekstraksi logam baru. Upaya ini sekaligus mengurangi aktivitas penambangan yang merusak ekosistem.
  • Perbaikan ketiga dapat dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan penggunaan coating berwarna yang membutuhkan proses kimia seperti electroplating. Produsen dapat mempertahankan warna natural stainless atau menggunakan metode pewarnaan yang lebih bersih seperti Physical Vapor Deposition (PVD), yang menghasilkan limbah kimia jauh lebih sedikit. Dengan demikian, dampak lingkungan pada tahap finishing dapat ditekan.
  • Perbaikan tambahan yang juga relevan adalah mengembangkan desain sedotan yang modular sehingga bisa dilepas menjadi dua bagian. Desain seperti ini akan mempermudah proses pembersihan, memperpanjang usia pakai, dan memudahkan daur ulang pada akhir masa pakai produk. Selain itu, pouch penyimpanan dapat dibuat dari bahan alami seperti katun organik atau rami sehingga lebih ramah lingkungan dibanding pouch polyester.

Rabu, 26 November 2025

Tugas Mandiri 09

ANALISIS DESAIN PRODUK DENGAN PRINSIP DFE

Identitas Mahasiswa

Nama: Ibnu Sabil
NIM: 41623010006

1. Deskripsi Produk
Produk yang saya analisis adalah Earphone TWS (True Wireless Stereo), yaitu perangkat audio nirkabel yang menggunakan koneksi Bluetooth. Fungsi utamanya adalah menyediakan pengalaman mendengarkan musik, komunikasi, dan multimedia tanpa kabel. Produk TWS biasanya terdiri dari dua earpiece, casing plastik berisi baterai, driver speaker, mikrofon, sensor sentuh, chip Bluetooth, serta wadah charging dock yang berfungsi sekaligus sebagai tempat penyimpanan dan pengisian daya.

Earphone TWS populer karena bentuknya compact, ringan, dan praktis, namun di balik itu terdapat berbagai material elektronik dan baterai mini yang berpotensi menjadi limbah elektronik apabila tidak didesain atau ditangani dengan tepat.



2. Analisis Fitur Desain Tidak Ramah Lingkungan
  • Material Campuran dan Kompleks
    Earphone TWS menggabungkan berbagai material seperti plastik ABS untuk casing, silikon pada eartips, tembaga untuk kumparan speaker, magnet neodymium, PCB kecil, serta baterai lithium-ion berkapasitas rendah. Kombinasi ini sangat sulit dipisahkan saat proses daur ulang, karena komponen elektronik dan baterai tertanam dalam unit kecil.

  • Baterai Lithium-Ion yang Tidak Dapat Diganti
    Sebagian besar TWS menggunakan baterai mini yang tidak didesain untuk diganti oleh pengguna. Ketika daya baterai menurun, satu-satunya pilihan adalah membuang produk. Padahal baterai jenis ini termasuk limbah B3 dan berpotensi mencemari lingkungan.
  • Umur Pakai Pendek
    Earphone TWS biasanya memiliki umur pakai 1–2 tahun karena degradasi baterai dan kerusakan pada komponen elektronik. Produk murah lebih cepat rusak, sehingga meningkatkan jumlah limbah elektronik.
  • Desain Tidak Modular
    Housing TWS dirakit menggunakan lem atau pengelasan ultrasonik sehingga tidak bisa dibongkar tanpa merusak komponen. Akibatnya, TWS tidak dapat diperbaiki meski kerusakan hanya pada salah satu bagian, seperti baterai atau driver.
  • Produksi Massal dan Konsumsi Tinggi
    Karena harganya makin terjangkau, banyak orang membeli TWS baru ketika baterai melemah. Siklus konsumsi cepat ini memperbesar jejak karbon produksi dan memperparah timbunan e-waste.
3. Kaitan dengan Prinsip DfE
  • Reduce: Penggunaan berbagai material dan baterai sekali pakai bertentangan dengan upaya mengurangi dampak lingkungan.
  • Reuse: TWS tidak dapat diperbaiki atau diganti komponennya, sehingga tidak mendukung penggunaan ulang.
  • Recycle: Desain compact dan komponen tertanam membuat daur ulang hampir tidak memungkinkan; terutama baterai kecil yang sulit dilepas.
  • Recover: Material bernilai seperti tembaga dan magnet tidak dapat diambil kembali secara efisien.
  • Redesign: Produk TWS saat ini masih membutuhkan desain ulang agar lebih modular, tahan lama, dan ramah lingkungan.
4. Refleksi dan Ide Perbaikan
Agar lebih ramah lingkungan, earphone TWS dapat dirancang dengan baterai modular yang bisa diganti, bukan tertanam permanen. Housing sebaiknya menggunakan sistem snap-fit sehingga dapat dibongkar untuk perbaikan ringan. Produsen dapat menawarkan program take-back untuk mengumpulkan TWS rusak dan memproses baterainya secara aman. Penggunaan material plastik tunggal pada casing juga dapat mempermudah proses daur ulang. Selain itu, peningkatan durabilitas komponen seperti waterproofing dan proteksi debu akan memperpanjang umur pakai dan mengurangi limbah elektronik. 

Senin, 24 November 2025

Tugas Terstruktur 07

Penilaian Dampak Lingkungan Berdasarkan Hasil LCI

Produk: Kemasan Styrofoam (Expanded Polystyrene/EPS) 

1. Identifikasi Kategori Dampak yang Dinilai
Tiga kategori dampak yang digunakan dalam analisis ini dipilih berdasarkan karakteristik utama styrofoam sebagai produk berbasis polimer fosil, yaitu tingginya konsumsi energi dalam proses pembentukan, adanya emisi gas pencemar udara, serta ketergantungannya pada sumber daya tak terbarukan. Tiga kategori yang dianalisis adalah:
  1. Global Warming Potential (GWP)
  2. Acidification
  3. Resource Depletion
Pemilihan kategori ini dianggap relevan karena proses produksi styrofoam mencakup tahap ekstraksi minyak bumi, pemurnian menjadi polistirena, pengembangan dengan energi panas, serta transportasi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.

2. Analisis Dampak Berdasarkan Data LCI

Kategori Dampak

Data Input Terkait

Potensi Dampak Lingkungan

Global Warming Potential (GWP)

Konsumsi listrik proses pemanasan ± 45–60 kWh/kg; penggunaan steam dari gas; emisi CO₂ dari ekspansi polimer

Proses produksi styrofoam sangat bergantung pada energi, terutama listrik dan gas untuk menghasilkan panas yang dibutuhkan saat ekspansi polistirena. Setiap tahap konsumsi energi ini berkontribusi terhadap emisi CO₂ dari pembangkit listrik. Selain itu, bahan baku polistirena yang berasal dari minyak bumi memiliki jejak karbon tinggi. Emisi tidak langsung dari proses ekstraksi minyak, transportasi, serta proses cracking dan polimerisasi turut meningkatkan potensi pemanasan global. Kombinasi dari seluruh sumber emisi ini menjadikan GWP sebagai dampak yang paling besar dalam siklus hidup produk.

Acidification

Penggunaan transportasi diesel ± 50–80 km; pembakaran gas alam selama pemanasan

Proses pembakaran bahan bakar fosil, baik dari mesin transportasi maupun dari alat pemanas di pabrik, menghasilkan emisi gas seperti sulfur dioksida (SO₂) dan nitrogen oksida (NOx). Kedua jenis emisi ini dapat bereaksi dalam atmosfer dan membentuk senyawa asam yang turun bersama hujan. Dampak ini dapat menyebabkan penurunan kualitas tanah, perubahan pH air permukaan, serta kerusakan pada vegetasi di daerah yang berada dekat jalur transportasi maupun kawasan industri. Selain merusak ekosistem darat dan perairan, hujan asam juga mempercepat korosi infrastruktur yang terbuat dari logam.

Resource Depletion

Bahan baku polistirena berbasis minyak bumi ± 1 kg/unit; penggunaan blowing agent

Styrofoam merupakan produk turunan minyak bumi, sehingga seluruh tahap awal produksinya bergantung pada sumber daya fosil yang tidak dapat diperbarui. Proses ekstraksi minyak, pemurnian, hingga pembuatan monomer stirena semuanya membutuhkan energi dan berdampak pada berkurangnya cadangan sumber daya alam. Selain itu, penggunaan blowing agent (biasanya berupa gas hidrokarbon ringan) memperbesar konsumsi bahan kimia tambahan. Ketergantungan tinggi terhadap bahan baku fosil membuat kategori ini penting untuk dianalisis karena semakin meningkatnya permintaan EPS akan mempercepat laju eksploitasi sumber daya yang tidak terbarukan.

3. Interpretasi Dampak
Hasil analisis menunjukkan bahwa Global Warming Potential (GWP) merupakan kategori dampak yang paling signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konsumsi energi listrik pada proses ekspansi polistirena tergolong tinggi. Proses pemanasan dan pembentukan butiran styrofoam membutuhkan suhu tertentu, dan penggunaan energi dalam jumlah besar selalu berbanding lurus dengan emisi CO₂, terutama jika berasal dari pembangkit listrik berbasis batu bara atau gas. 
 
Kedua, produksi bahan baku polistirena sendiri sudah memiliki jejak karbon yang besar. Tahap ekstraksi minyak, proses transportasi, serta pemanasan pada tahap refining dan polymerization menambah beban emisi yang terjadi sebelum bahan baku mencapai pabrik. Dengan demikian, meskipun proses manufaktur styrofoam terkesan ringan, sebenarnya dampak terbesarnya sudah terjadi sejak fase hulu.

Dampak acidification menempati urutan berikutnya. Emisi dari transportasi diesel serta penggunaan gas dalam proses pemanasan memicu pembentukan gas pencemar udara yang dapat meningkatkan tingkat keasaman lingkungan. Walaupun dampaknya tidak sebesar GWP, kategori ini tetap penting karena mempengaruhi kualitas tanah dan air. Sementara itu, resource depletion menjadi dampak yang muncul secara langsung dari penggunaan minyak bumi sebagai sumber utama polistirena. Di tengah meningkatnya kebutuhan produk kemasan sekali pakai, ketergantungan terhadap minyak bumi menjadi perhatian penting, terutama terkait keberlanjutan jangka panjang.

4. Rekomendasi Pengurangan Dampak
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menurunkan dampak lingkungan styrofoam antara lain:
  • Efisiensi energi dalam proses produksi: Mengoptimalkan pemakaian panas pada proses ekspansi atau menggunakan mesin dengan teknologi yang lebih hemat energi dapat membantu menurunkan jejak karbon. Beberapa pabrik sudah mulai menggunakan sistem pemulihan panas untuk mengurangi penggunaan energi baru.
  • Menggunakan sumber energi rendah emisi: Jika memungkinkan, substitusi sebagian energi listrik dengan sumber energi terbarukan dapat mengurangi kontribusi terhadap GWP. Penggunaan panel surya atau pembelian listrik dari penyedia energi hijau dapat menjadi pilihan. 
  • Meningkatkan pemanfaatan EPS daur ulang: Beberapa pabrik kini mencampurkan EPS daur ulang dalam proses produksi. Penggunaan bahan daur ulang dapat mengurangi kebutuhan polistirena murni serta mengurangi jumlah sampah styrofoam yang sulit terurai di lingkungan. 
  • Alternatif bahan baku: Walaupun tidak mudah, penggunaan material alternatif seperti bioplastik atau bahan berbasis serat tanaman dapat mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi. Bahan seperti PLA atau kemasan berbasis bubur kertas dapat menjadi substitusi untuk aplikasi tertentu. 
  • Optimalisasi rute dan moda transportasi: Pengurangan jarak distribusi atau perubahan moda transportasi ke yang lebih rendah emisi, seperti kendaraan listrik untuk distribusi lokal, dapat mengurangi emisi SO₂ dan NOx.


Tugas Mandiri 07

Life Cycle Assessment (LCA) & Penerapannya


Rangkuman

Definisi LCIA dan Tujuannya
Di dalam kerangka LCA (Life Cycle Assessment), tahap Life Cycle Impact Assessment (LCIA) adalah proses mem-kuantifikasi dan menilai potensi dampak lingkungan yang dihasilkan dari input-output yang telah diinventarisasikan. Tujuannya adalah untuk menerjemahkan data-inventaris (energi, bahan baku, emisi) ke dalam kategori dampak yang lebih bermakna seperti pemanasan global, eutrofikasi, atau konsumsi sumber daya. Dalam video tersebut, narator menjelaskan bahwa “LCIA memungkinkan kita bergerak dari data teknis ke informasi yang bisa digunakan untuk pengambilan keputusan lingkungan”.

Langkah-langkah Utama dalam LCIA
Berdasarkan penjelasan dalam video, LCIA melibatkan beberapa langkah utama sebagai berikut:
  • Klasifikasi: Mengelompokkan inventaris input-output ke dalam kategori dampak lingkungan. Contoh: emisi CO₂ masuk ke kategori pemanasan global; fosfor dalam limbah cair masuk ke kategori eutrofikasi.
  • Karakterisasi: Menghitung kontribusi setiap aliran (input/output) terhadap kategori dampak menggunakan faktor karakterisasi. Misalnya jika 1 kg CO₂ setara dengan 1 kg CO₂ eq dalam kategori pemanasan global.
  • Normalisasi: (Video menyebut secara singkat) Proses membandingkan hasil karakterisasi terhadap referensi (misalnya total beban nasional atau per kapita) untuk memberi konteks seberapa besar dampak tersebut.
  • Weighting: (Dijelaskan dengan hati-hati) Memberi bobot terhadap kategori dampak berdasarkan pentingnya relatif atau preferensi pemangku kepentingan misalnya apakah pemanasan global dianggap lebih prioritas dibandingkan penggunaan lahan.
Video menekankan bahwa bukannya semua studi LCA harus memakai tahap weighting, “karena bisa menambah subjektivitas”

Contoh Kategori Dampak dan Penjelasannya
Dalam video tersebut beberapa kategori dampak yang disebut antara lain:
  • Pemanasan Global (Global Warming Potential, GWP): Emisi gas rumah kaca seperti CO₂, CH₄, N₂O yang menyebabkan peningkatan suhu rata-rata bumi.
  • Eutrofikasi: Pelepasan nutrien (fosfor, nitrogen) ke sistem air yang menyebabkan pertumbuhan alga secara berlebihan dan rusaknya ekosistem perairan.
  • Degradasi Ozon Stratosferik (Ozone Depletion): Emisi zat yang merusak lapisan ozon seperti CFC atau halon.
  • Pengasaman (Acidification): Emisi SO₂, NOₓ yang bila bereaksi menghasilkan hujan asam dan merusak tanah, air, vegetasi.
  • Penggunaan Sumber Daya Alam (Resource Depletion): Konsumsi bahan baku seperti kayu, air, mineral yang sifatnya terbatas.
  Video memberikan contoh bahwa dalam studi kasus, penggunaan kayu besar dalam produksi kertas menyebabkan beban sumber daya alam yang signifikan

Tahap Interpretasi: Identifikasi Isu, Evaluasi Konsistensi, Penarikan Kesimpulan
Tahap interpretasi dalam LCA adalah langkah dimana hasil LCIA di-gunakan untuk mendukung pengambilan keputusan. Dalam video dijelaskan sebagai berikut:
  • Identifikasi aspek/signifikan dampak: Mengidentifikasi kategori dampak atau tahapan siklus hidup yang memiliki kontribusi terbesar. Misalnya jika tahap produksi pulp memberikan majoritas emisi.
  • Evaluasi konsistensi dan asumsi: Memeriksa apakah data yang digunakan andal, apakah batas sistem sudah tepat, apakah metode karakterisasi sesuai. Video menyebut bahwa “ketidakpastian dan asumsi harus dilaporkan agar interpretasi tidak menyesatkan”.
  • Penarikan kesimpulan dan rekomendasi: Berdasarkan hasil, menarik kesimpulan seperti “tahap X harus ditargetkan untuk perbaikan”, atau “pilihan bahan baku alternatif bisa menurunkan dampak”. Video menekankan bahwa interpretasi bukan hanya menampilkan angka, tetapi mengaitkan angka dengan konteks dan keputusan nyata.
Poin Penting dari Video
  • Video menegaskan bahwa LCIA adalah jembatan antara inventaris data dan keputusan lingkungan: “Tanpa LCIA, Anda hanya punya daftar angka; dengan LCIA, itu menjadi cerita tentang dampak.” 
  • Dalam studi kasus yang disajikan, produksi kertas dijadikan contoh bagaimana pemutihan pulp memunculkan limbah cair dengan beban eutrofikasi yang cukup besar ini menunjukkan bahwa tahapan yang sering dianggap “normal” ternyata bisa memiliki dampak tersembunyi.
  • Metode normalisasi dan weighting dianggap opsional dan harus digunakan dengan hati-hati karena dapat memperkenalkan bias atau interpretasi subjektif yang kuat.
  • Pentingnya transparansi dalam asumsi studi: video mengingatkan bahwa “laporan LCA harus menyertakan daftar asumsi, batas sistem, kualitas data” tanpa ini, hasil interpretasi bisa salah kaprah.
Refleksi Pribadi
Dari video ini saya belajar bahwa proses LCIA dan interpretasi bukan sekadar langkah tambahan dalam LCA, melainkan bagian yang sangat kritis agar data menjadi bermakna. Sebagai mahasiswa yang mempelajari LCA untuk tugas akhir atau penelitian, saya menyadari bahwa memilih batas sistem dan memastikan kualitas data adalah kunci. Selain itu, relevansi hasil interpretasi terhadap keputusan nyata (misalnya memilih bahan baku, memilih proses produksi) membuat studi LCA menjadi lebih berguna. Di masa depan, ketika saya menerapkan LCA (misalnya untuk produk tisu yang kita pilih sebelumnya), saya akan memastikan untuk tidak hanya menghitung inventaris, tetapi juga memikirkan bagaimana hasil LCIA dan interpretasi akan digunakan oleh manajer atau pembuat kebijakan agar dampak lingkungan bisa dikurangi.

Tugas Terstruktur 06

Penerapan Awal Life Cycle Assessment (LCA) Berdasarkan ISO 14040 & 14044


Life Cycle Assessement Produk Kertas (Kertas Tisu)



1. Tujuan Studi (Goal) 
Studi Life Cycle Assessment (LCA) ini dilakukan untuk memahami bagaimana produk tisu kertas memberikan dampak terhadap lingkungan mulai dari proses pembuatan hingga tahap akhir setelah digunakan. Tisu dipilih sebagai objek analisis karena merupakan produk yang digunakan secara luas dalam kegiatan rumah tangga, perkantoran, dan fasilitas publik. Meskipun terlihat sederhana dan ringan, produksi tisu sebenarnya melibatkan konsumsi air dan energi yang tinggi, serta menghasilkan limbah yang tidak sedikit. Dengan melakukan kajian ini, diharapkan muncul pemahaman mengenai bagian mana dari siklus hidup tisu yang paling menimbulkan tekanan lingkungan dan bagaimana konsumsi tisu dapat dikelola secara lebih bertanggung jawab.

2. Unit Fungsional
Unit fungsional yang digunakan dalam studi ini adalah 1 pack tisu kertas berisi 250 lembar, ukuran yang umumnya digunakan untuk keperluan pribadi maupun penggunaan di meja makan atau tempat kerja. Unit ini dipilih karena mewakili penggunaan yang paling umum dan realistis, sehingga memudahkan analisis serta perbandingan dampak dari proses yang terlibat.

3. Lingkup Studi (Scope)
Analisis ini menggunakan pendekatan cradle-to-grave, yang berarti seluruh perjalanan produk diperiksa mulai dari bahan baku hingga tisu tersebut dibuang setelah digunakan.

   Batas Sistem yang Termasuk:
  • Pembalakan atau panen kayu dari hutan tanaman industri
  • Pembuatan pulp (baik mekanis maupun kimia)
  • Proses pemutihan untuk menghasilkan tisu yang berwarna putih
  • Proses pengeringan, penggilingan lembut, hingga pembentukan lembaran tisu
  • Pemotongan, penggulungan, dan pengemasan
  • Distribusi ke pasar atau konsumen
  • Penggunaan oleh konsumen
  • Pembuangan akhir (dibakar, dibuang ke TPA, atau mengalami degradasi)
   Yang Tidak Termasuk dalam Lingkup:
  • Energi dan aktivitas administratif perusahaan
  • Proses produksi mesin pabrik
  • Transportasi pekerja
  • Penggunaan tisu sebagai bagian dari layanan (seperti rumah makan atau hotel)
Pengecualian dilakukan untuk menjaga fokus analisis dan menyesuaikan dengan ruang lingkup studi LCA awal yang tidak menuntut perhitungan detail pada aspek minor.

4. Diagram Sistem dan Batas Sistem
      


Input utama di sepanjang proses terdiri dari kayu, air dalam jumlah besar, bahan kimia pemutih, energi panas dan listrik, serta plastik untuk pengemasan. Output utamanya berupa limbah cair dari proses pulping dan pemutihan, emisi dari pemanasan, hingga limbah tisu bekas yang sulit didaur ulang.

5. Inventaris Awal Input–Output Utama (LCI)

Tahap Proses

Input Utama

Output Utama

Penebangan Kayu

Kayu dari hutan industri, solar alat berat

Sisa biomassa, emisi alat berat

Produksi Pulp

Air, energi, bahan kimia pemecah serat

Limbah cair, emisi dari proses pemanasan

Pemutihan & Pembentukan

Bahan kimia pemutih, air, listrik

Limbah pemutihan, lembaran tisu basah

Pengeringan & Pengemasan

Listrik, plastik pembungkus

Limbah plastik, produk tisu jadi

Distribusi

Bahan bakar kendaraan

Emisi transportasi

Penggunaan

Tidak memerlukan input tambahan

Tisu bekas, potensi kontaminasi

Tahap Akhir

Tisu bekas, energi pembakaran (jika dibakar)

Sampah tisu, emisi pembakaran, material terdegradasi


Tugas Terstruktur 10

 Analisis Kasus Implementasi Produksi Berkelanjutan A.  Profil Perusahaan dan Latar Belakang Nama Perusahaan: PT Semen Indonesia (Persero) T...